Jumat, November 13, 2009

Love doesn’t mean having – For a better world

Love doesn’t mean having – For a better world.

Dulu, dan mungkin sampai kemarin malam, gue berpikir kalo cinta adalah memiliki. Dominasi. Rasa saling bergantung dan dekat satu sama lain. Tapi nggak juga. Ada kalanya, di saat yang nggak akan pernah kita duga, kita akan sadar kalo cinta nggak berarti memiliki. Ini cuma kisah unik, kalo nggak mau dibilang bego juga sih, antara gue, Kiris, dan Bethlen Rapen Burebista aka King Julien aka Yunjae aka Beibi.

Bagi yang bingung siapa itu yang bernama panjang, dia adalah seekor kukang.

Yep, kukang. Atau muka-muka. Atau uNycticebus/u ucoucang/u yang status konservasinya adalah rentan. Bagi yang nggak tau makhluknya kayak apa, bayangkan saja primata amat sangat lucunya, bergerak lambat (sumpah lambat, bahkan makan pisang pun dipikir dulu), warna coklat-putih-abu-hitam, punya garis melintang di punggung yang bercabang ke dasar telinga dan mata, plus, bermata besar, memelas, dan memohon dibeli.

Mata yang meminta perlindungan. Mata yang meminta dicintai. Dan mata itulah yang membuat gue mengeluarkan 260.000 (believe it or not, si abangnya nawarin 550.000) buat menebus si Beibi. Paroan ama Kiris, jadinya 130.000 seorang. Saat itu, kita nggak tau kalo si Beibi ini nyatanya hewan yang benar-benar dilindungi. Spesiesnya sudah terancam punah. Mereka diambil paksa dari hutan, dicabut taring dan kukunya agar terlihat jinak. Berita ini gue dapatkan ketika gw search ‘bagaimana memelihara kukang’, dan gue disambut dengan UU RI no.5 Th 1990. Status CITES : Appendix II/th 2001, status IUCN : rentan/th 2002. Iya gue nggak ngerti maksudnya, tapi intinya...

...memelihara, memperjualbelikan dan menyelundupkan hewan imut ini haram hukumnya. Silahkan pilih denda 100jt atau 5th penjara. But well, you know our country, right? Even gue jalan-jalan bersama si Beibi pun, orang-orang malahan ngelirik kagum, bukannya panik karena sodara-sodaranya si Beibi di hutan Sumatra dan Kalimantan lagi terancam kepunahan juga. Menurut yang gue baca, si Beibi ini terancam mati kalo dipelihara TIDAK di alam aslinya karena mereka rentan. Ditambah kemungkinan infeksi karena taring mereka dicabut paksa, maka perkiraan hidup mereka di tangan orang awam macam gue adalah, satu bulan.

Oke, cukup. Gue dengan mata nanar, menatap Kiris dan berkata, “Kita harus menyelamatkan spesies ini dari kematian.”

Lalu Kiris balik menatap gue, dengan tatapan ngantuk, berkata, “Iye, besok kita ke kebun binatang. Gue udah ngantuk.” dan kami pun, tidur dengan perasaan berkecamuk, bersalah, kasihan, ngeri kena penjara, dan...ngantuk. Dan si kukang ini bangun aja gitu loh jam dua pagi pas lampu udah dimatiin. Kesimpulan pertama : dia beneran nokturnal. Kesimpulan kedua : kalo gelep-gelepan dia jadi lincah. Kesimpulan ketiga : dia laper di subuh hari. Dan gara-gara ini, gue jadi nyuapin si Kukang aja gitu. Maklum, dia belum punya gigi, pisangnya pun (cavendish anyway) harus gue kerokin dulu terus disuapin. Kalo pipis, gue ama Kiris sibuk nyebokin, ngelapin bekas pipisnya, ngeganti koran di kardusnya, dan even Kiris menghabiskan sekian ribu buat ngebeliin buah-buahan buat si Beibi.

Tapi tetep, secinta-cintanya kami ama anak kami (hoek) si Beibi, hukum tetap harus ditegakkan. Spesies langka tetap harus dijaga kelestariannya. Kukang yang kami beli malam minggu, kami serahkan senin pagi ke Kebun Binatang Bandung untuk dipelihara di sana. Ada sekitar lima ekor kukang juga di sana, jadi si Beibi punya temen ngegosip di kala malam. Ada rekan makan pisang di kala lapar, dan teman berbagi suka dan duka ketika dia kangen ama gue atau Kiris (???). Thanks God, pihak Kebon Binatang menerima dengan lapang dada dan senang hati.

Ya iyalah, udah tugasnya, toh?

Tapi tetep, tepok tangan dah buat pihak Bonbin. Gue nggak bisa apa-apa lagi kecuali berdoa supaya Beibi bertahan hidup dan bahagia di sana. Walau ga mungkin juga dia dikasih Cavendish lagi sih, tapi yah, biarlah dia hidup merakyat. Beibi sudah bukan milik kami, walau sejujurnya gue sangat nggak ikhlas nyumbanginnya karena gue terlanjur nyebokon, nyuapin, dipipisin pula sama dia, gue udah terlanjur sayang ama dia. Tapi kembali ke judul, cinta nggak harus memiliki. Oh, inikah rasanya membuang anak di dalem kardus, terus ditaro di rumah orang tak dikenal dan memberikannya leontin? I feel like...abandon my child to orphanage, actually.

Beibi, bukannya Papa (loh, self-disclaimed Papa) nggak sayang ama kamu. Bukan Mama (mama sopo?) nggak mau bertanggung jawab. Tapi Papa (yang sedang TA) dan Mama (yang sedang KP) nggak mau merasa bersalah lebih jauh membiarkan kamu tersiksa dan mati di tangan kami, semetara kamu TERNYATA adalah endangered species. Kamu tau nggak, kalau kamu hampir punah, sayang? Kamu nggak perlu tau, biarlah kami, manusia yang hanya segelintir yang peduli kamu ini yang tau.

Saving a little life, maybe it doesn’t help at all, but at least I tried, we tried to save this coucang for a better world. Satu nyawa kecil itu lagi berjuang untuk bisa hidup, dia mungkin kalo bisa ngomong udah teriak-teriak minta balik ke nyokapnya yang entah di mana. Masihkah sang nyokap gelantungan di hutan Kalimantan, kita nggak tau. FYI, si Beibi ini cewek berumur tiga bulan, gw bahkan nggak tau dia masih perlu susu emaknya apa kagak. Dia mungkin nggak akan pernah ngeliat rumahnya sendiri, yang makin hari makin abis aja ditebangin.

Gue dan Kiris cuma contoh orang dodol yang nggak tau apa-apa tapi pengen memiliki sesuatu yang seharusnya nggak kita miliki.

Walau sebenernya, kondisi si kukang sangat sulit. Andai kita nggak beli, maka si Beibi udah dibeli orang lain, yang entah apakah sama idealisnya ama gue dan Kiris. Mungkin orang itu dodol, ngematiin si Beibi tanpa sadar. Atau tetep dipajang di depan salah satu mall berinisial BIP (;P) setiap malamnya. Entahlah. Gue nggak tau lagi mana yang terbaik, karena gue nggak bisa mengharapkan kondisi ideal di mana si Beibi dan puluhan rekan satu spesienya bisa balik ke Kalimantan dan Sumatra. Manusia dan sifat egoisnya, pasti menginginkan sesuatu itu untuk diri mereka sendiri, kan? Well, gue dan Kiris sedang belajar untuk menahan sifat tersebut.

And we’ve made it ;)

Dua malam bersama Bethlen Rapen Burebista aka King Julien aka Yunjae aka Beibi berakhir sudah. Singkat, namun memberikan makna dan kesan yang dalem banget buat gue, dan pastinya juga buat Kiris. Untuk pertama kalinya gue nggak merasa sia-sia udah mengeluarkan duit 130.000 tanpa mendapat apa-apa. Gue juga nggak ngerti kenapa gue bisa mikir begini. At the moment, yang gue pikirin adalah gimana caranya biar Beibi bisa selamet dari tangan gue sendiri yang mematikan ini. Dan semoga, semoga ya Tuhan, semoga, Beibi bisa bahagia di sana.

Beibi, we love you so much. We’ll be missing you that much too.

*ngapus air mata*

A little movement, a little action.

For the earth.

For a better world.

Love doesn’t mean having.

And Beibi taught us what it’s like ;)

P.S. 1 : makasih tumpangan malam pertama di kosan Gadis Anindita, makasih buat Hera Mestika yang udah insomnia dan take care of Beibi ketika gue dan Kiris terlelap.

P.S. 2 : Kiris, awas lo kalo nggak ngeganti rp. 130.000-nya DDD

Selasa, Januari 20, 2009

Istana Berkubah di Jalan Dago

Sebenarnya, ini tugas kuliah Teori dan Kritik Arsitektur saya. Karena-alhamdulillah-dapet nilai AB, jadi saya cukup pede buat mejenginnya di sini. Hehehe.. Happy Reading^^

Istana Berkubah di Jalan Dago

Apabila kita bertanya kepada orang-orang, “Tahukah Anda mengenai The Palais Dago?”, mungkin kebanyakan dari mereka akan balik bertanya, “Apa itu?”. Tapi apabila kita bertanya mengenai keberadaan bangunan besar dengan gaya klasik dengan kubah besar di daerah Dago, niscaya semua orang akan menyadari bangunan mana yang kita maksud. Ya, bisa dibilang bangunan bergaya eklektik ini dikenal bukan karena fungsinya, namun karena penampilan luarnya yang sangat menarik perhatian. Orang awam pun mengetahuinya, kalau keberadaan bangunan dua lantai itu sangat mencolok di antara bangunan kuno yang menjadi ciri khas jalan Dago.

Melihat keberhasilan Jl. Ir. H. Djuanda sebagai pusat komesrial karena menjamurnya factory outlet, distro dan restoran, maka keputusan membangun hotel bergaya klasik pun dilakoni. Sasarannya jelas, masyarakat menengah ke atas yang datang ke Bandung untuk menikmati segala sesuatu yang ada di sepanjang jalan Dago tersebut. Tentu saja, ditinjau dari lokasi yang sangat strategis itulah pembangunan hotel bertajuk The Palais Dago dilihat memiliki potensi yang sangat baik. Kebutuhan yang makin meningkat akan tempat menginap untuk turis domestik maupun lokal turut mendukung cepatnya pembangunan hotel ini.

Hotel yang sekilas bergaya klasik ini hanya memiliki 16 kamar lux dan menawarkan interior mewah yang diusung langgam baroque. Dengan detail ukiran dan kubah, bangunan ini terlihat angkuh dan seakan berdiri sendiri. The Palais Dago juga memiliki ruang pertemuan yang terdiri dari tiga suite room, satu executive suite dan dua belas deluxe room. Selain itu, hotel ini juga memfasilitasi tamunya dengan restoran, bar, drug store dan juga business center. Untuk melengkapi kenyamanan tamunya, dibuka juga Dubidu Cafe sebagai tempat bersantai dan menikmati makanan. Sebagai fungsi tempat tinggal sementara, The Palais Dago memang berhasil menarik minat pengunjung. Masyarakat kalangan menengah ke atas dari luar kota Bandung tentu tertarik dengan bangunan megah tersebut dan menginap di sana. Tetapi, apakah bangunan ini berhasil secara arsitektural?

Jalan Dago, secara arsitektural, merupakan sisa-sisa kejayaan arsitektur kolonial. Wajah-wajah gedungnya pun nampak relatif sama dengan ketinggian bangunan satu-dua lantai dan gaya dutch indies yang kental. Detail pada facade bangunan di jalan Dago tidak banyak, kecuali tambahan yang bersifat mengundang pengunjung karena kebanyakan rumah atau villa di daerah ini beralih fungsi menjadi pusat komersial. Karena itulah, kemunculan satu bangunan baru dengan wajah yang sangat berbeda akan menjadi anomali di antara keharmonisan ritme deretan bangunan di jalan Dago ini.
Memang, ada tidaknya bangunan ini tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian yang terhadi di Jalan Dago. Hotel ini bukanlah katalisator atau semacamnya untuk menarik perhatian pengunjung, namun keberadaannya berhasil mencuri perhatian. Salah satu kutipan yang tertera di buku berjudul American Urban Architecture : Catalyst in Design of Cities karya Wayne Attoe dan Donn Logan mengatakan bahwa elemen baru seharusnya memodifikasi elemen sekitarnya yang sudah ada dan tidak merusak konteks yang ada. Begitulah syarat suatu bangunan dapat membangun atau memperkuat citra dari suatu kawasan.

Kawasan Dago bukanlah kawasan yang mewah secara visual sekalipun harga tanah di sana tinggi dan nilai historisnya sangat kental. Karena itulah, pada kasus ini, bangunan The Palais Dago menjadi pusat perhatian karena langgam yang diterapkannya. Tak hanya karena ia sibuk mengembangkan gedungnya sendiri, tapi juga karena mengabaikan penampakan bangunan di sekitarnya. The Palais Dago terlihat berdiri sendiri dan angkuh di antara bangunan di sekitarnya yang minim detail. Ditambah dengan elemen yang dipakainya benar-benar baru di kawasan Dago yang tak pernah ada sejarah memiliki bangunan bergaya seperti itu. Elemen lama tidak mungkin menyelaraskan diri dan elemen baru ini tidak memodifikasi elemen lama sehingga terjadi ketidakharmonisan terhadap kawasannya sendiri. Akibatnya, bangunan lain seakan terabaikan dan tercipta kesan kalau The Palais Dago lebih berkelas daripada bangunan di sebelah kanan dan kirinya.

Karena itu, secara kontekstual bangunan ini sangat tidak sesuai dengan keharmonisan kawasan jalan Dago. Secara aturan bangunan memang tidak ada yang salah, mungkin karena jalan Dago memang sudah penuh sesak dengan berbagai fungsi yang ada di sana. Namun citra Dago yang terbentuk karena deretan bangunan kolonial itu diganggu oleh keberadaan hotel ini. Belum lagi The Palais Dago berada tepat berseberangan dengan Sekolah Menengah Atas Kejuruan 1 Dago yang masih mempertahankan elemen-elemen arsitektur kunonya. Skyline kawasan jalan Dago yang awalnya berkisar satu dua lantai kini terganggu oleh munculnya kubah yang menjulang megah.

Mengacu pada teori Vitruvius mengenai bagaimana seharusnya bangunan itu, yaitu sebuah karya arsitektur haruslah memenuhi tiga hal. Biasa dikenal sebagai firmitas, venustas dan utilitas. Dilihat dari segi struktur dan fungsi, tidak ada yang salah dengan hotel yang berdiri di lahan yang felatif sempit itu. Namun dari segi keindahan, langgam yang digunakan hotel ini sudah pasti menjadi sesuatu yang mencolok. Penggunaan kubah pada bangunan tengah bangunan terkesan berlebihan dan tidak fungsional. Area entrance-nya juga menggunakan kolom-kolom besar yang sebenarnya tidak perlu sebanyak dengan ukuran tersebut. Singkatnya, elemen arsitektural yang digunakan tak lebih untuk sekedar menunjang keindahan dan kesan mewah tanpa menunjang struktur bangunan itu sendiri.

Langgam yang digunakan pada bangunan The Palais Dago ini acap kali ditemukan di Amerika Serikat, tepatnya pada bangunan state capital di sebagian besar ibukota negara bagiannya. Desainnya bangunan pemerintahan tersebut relatif sama, menggunakan skala megah dengan taman luas di depannya serta air mancur sebagai vocal point pada rancangan landscape-nya. Yang paling mencolok dari bangunan pemerintahan Amerika Serikat itu adalah penggunaan kubah di bagian tengah bangunan dan bagian sayap kiri dan kanan bangunan yang simetris. Ditambah dengan kolom-kolom corinthian pada fasadnya yang memperkuat kesan kokoh seperti apa yang diharapkan dari sebuah pemerintahan negara adidaya.

Konsep tersebut sudah dijadikan panduan dalam merancang bangunan pemerintahan dan sangat cocok dengan fungsi bangunannya. Namun, bila kita melirik kembali pada hotel di jalan Dago ini, rasanya pemilihan langgam yang sama dengan state capital menjadi terkesan berlebihan. Belum lagi, sekali lihat saja kita bisa menemukan kejanggalan dalam penerapan konsep klasik-modern yang ingin ditonjolkan. State capital terlihat wajar karena bangunan tersebut menampilkan keanggunan klasik secara utuh. Keutuhan dari langgam klasik dapat dilihat dari keteraturan dan sumbu simetri yang seimbang. Prinsip-prinsip dari langgam klasik seperti golden section pun diterapkan sehingga proporsi bangunan state capital terlihat ideal. Ditambah dengan elemen-elemen arsitektur klasik seperti balustrade, tympanum dan kubah dengan ukiran rumit menyatu dengan sempurna dalam harmoni.

Namun The Palais Dago tidak melakukannya, tercermin dari elemen arsitektural yang tidak simetris pada sayap kiri dan sayap kanannya. Sayap kiri bangunan ini terlihat modern namun ditambah elemen railing dari besi tempa berukir. Sayap kanannya menggunakan balustrade, namun ditambah tenda-tenda yang sangat tidak cocok bersanding dengan kubah yang anggun. Apalagi proporsi dari prinsip golden section yang sudah pasti tidak dihiraukan oleh perancang bangunan ini. Seharusnya perancang menerjemahkan prinsip-prinsip langgam klasik dalam desainnya dan menyesuaikannya dengan bangunan sekitar, bukannya asal tempel elemen arsitektural yang membuat The Palais Dago terlihat heboh sendiri dengan ornamen-ornamen klasik yang rumit.

Selain itu, bangunan bergaya seperti itu sangat cocok apabila berada di kawasan tersendiri yang jauh dari kepadatan penduduk sehingga ia berdiri sendiri dengan alam sebagai lingkungannya. Seharusnya The Palais Dago ini terletak di daerah yang jauh dari pusat keramaian dan memiliki halaman yang luas di depannya, barulah konsep kemewahan dan eksklusifitas dapat tercapai. Lahan sempit dan tinggi kebisingan akan mengurangi kenyamanan penguhuni hotel karena letak hotel ini sangat dekat dengan jalan yang seringkali ramai dan macet. Menempatkan hotel dengan gaya seperti ini merupakan keputusan yang sangat berani, namun juga kurang bijaksana.

Penerapan langgam yang setengah-setengah inilah yang mengakibatkan hotel bergaya state capital ini gagal secara arsitektural. Tak hanya itu, keberadaannya di jalan Dago juga menjadi satu kesalahan karena tidak sesuai dengan konteksnya. Secara singkat, The Palais Dago sudah merusak citra jalan Dago yang sudah terbentuk lama sebelum bangunan ini ada.

-

Gambarnya nyusul ya ^^
Melangkah Bersama Pejuang Kertas © 2008 | Coded by Randomness | Illustration by Wai | Design by betterinpink!