Senin, November 17, 2008

Dua Oknum yang Berjasa

Diawali dengan sebuah SMS berisi, 'Ghee, besok gw mau survey ke lapas Tangerang. Kalo mau ikut, jam 5 pagi gw tunggu di stasiun Bandung', yang notabene dari senior saya, diri ini pun berakhir di Lembaga Permasyarakatan Anak Pria Tangerang. Oke, bukan lapasnya yang akan saya bahas di tulisan ini, melainkan proses bagaimana saya akhirnya bisa mencapai bangunan tua tersebut. Dan beginilah kisahnya.

Terima kasih terucap kepada oknum pertama, sebut saja Kiyut Ket, yang sudah dengan baik hatinya menelpon saya pukul setengah lima subuh. Kucek mata sekali, ngulet sekali, plus kejutan kram pinggang di pagi hari, akhirnya saya bangun juga. Karena sudah tidak memungkinkan untuk mandi, saya hanya membasuh muka dan gosok gigi. Dengan persiapan sangat pas-pasan yaitu hape-dompet-jaket-kamera, bertolaklah saya ke pintu gerbang. Sempat berdadah-dadah dramatis pada ibu kost saya dengan latar mentari pagi yang sedikit mengintip. Benar saja, Kiyut Ket sudah menunggu saya di depan pintu.

Lalu kami pun berjalan santai menuju kostan salah seorang teman yang dengan baik hatinya akan mengantar saya dengan Katana birunya. Oknum kedua, bernama Penyihir Terbaik, keluar dengan kaos dalam dan celana panjang plus sendal. Setelah berhaha-hihi di depan pintu kost Penyihir Terbaik, kami bertiga memutuskan untuk nyabu dulu. Langsung menyebrang dan sarapan bubur di kedai Kameumeut, Cisitu Lama. Oke, singkat cerita akhirnya kami siap berangkat dan Katana biru pun difungsikan sebagaimana mestinya.

Awalnya, saya cukup yakin kalau si Penyihir Terbaik ini tidak akan membahayakan jiwa saya yang duduk di samping sang supir. Ya, dia yang menyetir dan saya ada di jok depan dengan seat belt super kencang. Diawali dengan keluar dari parkiran kostan, saya mulai dag-dig-dug dengan cara menyetir sang Penyihir. Lalu Kiyut Ket pun memberikan wejangan dan beberapa nasihat spiritual pada Penyihir. Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga saja Tuhan masih berbaik hati kepada saya.

Katana biru melaju. Belok, belok, lurus, gas, rem, gigi tiga, rem, dan saya merasa Tuhan nggak sayang-sayang amat sama saya. Jantung ini dibuat berolahraga karena polah sang supir yang sedikit mengkhawatirkan. Kiyut Ket masih memberikan beberapa mantra yang kira-kira, 'pelan-pelan..awas kanan..ambil kiri..gas..rem..', begitu berulang-ulang sampai terasa mendoktrinasi. Rupanya aksi Taman Sari Drift ini tak berakhir di situ saja. sampai di U-turn bawah jembatan layang Pasupati, si Penyihir ini ebrbelok tajam tanpa menyentuh rem sama sekali. Di sini, saya sudah menyebutkan 'Maha Suci Allah' berulang-ulang dalam hati.

Memasuki daerah-daerah dengan tikungan lumayan, dengan penyesuaian diri di atas rata-rata, saya mulai rileks. Kiyut Ket pun tak terlalu sering mengucap mantra, dan sang Penyihir agaknya mulai menikmati aktivitas berbahaya ini. Daerah stasiun, dimana tikungan 90 derajat, dan lagi-lagi sang Penyihir tidak menginjak pedal rem. Katana biru berbelok tajam, dan kami yang tadinya berada di jalur kiri langsung berada di jalur kanan. Melihat keekstriman tingkat tinggi ini, terpaksa Kiyut Ket kembali mengulang mantra ampuh tadi, 'ambil kiri..rem..awas belakang..buset, lo sempet benerin spion?', sementara saya mengubah 'Maha Suci Allah' menjadi 'Allah Maha Besar'. Semuanya terasa menjadi overdramatic bersama kedua oknum ini.

Akhirnya, dengan tubuh masih utuh, kami pun sampai di stasiun kereta api Bandung. Membeli tiket, memasuki gerbong Argo Bromo, dan duduk manis di kereta, saya dan senior saya bertolak juga ke Jakarta. Sampai sinilah sang Penyihir Terbaik dan Kiyut Ket mengantar kepergian saya. Setelah berdadah-dadah kembali, mereka pun menghilang sementara kereta yang saya tumpangi mulai melaju perlahan. Kelibat-kelibat bayangan akan Lembaga Permasyarakatan membuat saya banyak bertanya kepada senior saya. Yang pada akhirnya, tempat itu membuat saya rindu ingin kembali.

Akhir kata, saya ingin berterima kasih kepada Kiyut Ket dan Penyihir Terbaik yang sudah berbaik hati mengantarkan saya dan membuat jantung saya makin sehat.

3 komentar:

Randi Saputra mengatakan...

AWESOME..!!
Postingan yang bikin saya "rolling on the floor" sampai pengen bo**r, ahaha.. banyak istilah-istilah yang bikin cekikikan seperti nyabu, Taman Sari Drift, dll.. mantra-mantra saya pun dihapalnya.. yah, untung saja saat itu pagi hari dimana volume kendaraan masih minim..

Well.. saya terkesan sendiri jadinya, karena postingan ini diketik cepat.. apakah memang sedang di bawah tekanan Dies yang telah memasuki hari terakhir? Jadinya seperti ini, ehe..

Satu pertanyaan terakhir, mana rute yang lebih ekstrim? Cisitu - Stasiun atau Pelesiran - Pelabuhan Ratu? ^^

Anonim mengatakan...

*HAHAHAHAHAHAHAHAHA*

Anda benar-benar beruntung pagi itu Bung Ghee!! Apalagi mengingat anda sempat2 nya datang acara Dies dan sempat2nya berkosplay ala Iruka (walau tak karuan)

*ketawa lagi*

Ngomong2 saya sudah menyetting OPENID dengan baik dan benar di wp...

Anonim mengatakan...

loh kok nama gw jadi penyihir terbaik?
harusnya penyihir tersohor..

Melangkah Bersama Pejuang Kertas © 2008 | Coded by Randomness | Illustration by Wai | Design by betterinpink!